OTONOMI DAERAH DALAM
KONTEKS PEMERINTAHAN BARU
SESUAI dengan janji politiknya tentang 'perubahan' tampaknya salah satu tugas berat yang dihadapi pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) adalah bagaimana membangun Indonesia menjadi lebih 'adil dan demokratis'.
Tugas berat ini kiranya pula berkenaan dengan konteks otonomi daerah (otoda) yang diterapkan sejak Januari 2001. Dalam konteks ini, pembangunan otoda yang lebih 'adil dan demokratis' bisa diterjemahkan sebagai bagian tak terpisahkan dari tujuan otonomi dan desentralisasi, yang esensinya dimaksudkan untuk memperjuangkan keadilan dan mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal.
Selama era Orde Baru ketidakadilan dan ketidak demokratisan Indonesia yang dirasakan masyarakat di berbagai daerah telah mendorong munculnya tuntutan masyarakat tentang otonomi daerah. Kuatnya desakan daerah tentang hal ini telah melahirkan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sulit dipungkiri bahwa kelahiran kedua UU tersebut tidak dapat dilepaskan dari Gerakan Reformasi 1998 yang menghasilkan keterbukaan politik di seluruh wilayah Nusantara. Berbeda dengan era Orde Baru, dewasa ini secara relatif masyarakat telah dapat menikmati kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat.
Kebebasan ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan (urban), tetapi juga oleh masyarakat pedesaan (rural) di berbagai daerah. Di tengah euforia politik semacam ini bisa dipahami munculnya kebangkitan politik lokal yang ditandai oleh mobilisasi di tingkat grassroot.
Setidaknya ada dua faktor yang mendorong terjadinya repolitisasi masyarakat lokal. Yang pertama adalah adanya demokratisasi melalui kebebasan menyatakan pendapat dan berasosiasi serta berkembangnya masyarakat madani (civil society) di tingkat grassroot, sedangkan yang kedua adalah lahirnya kebijakan pelaksanaan otonomi daerah. Dengan otonomi dan desentralisasi yang memberi keleluasaan pemerintah daerah, rakyat diharapkan tergerak untuk menggunakan hak demokrasinya atas masalah-masalah publik. Termasuk dalam hal ini adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan daerah.
Dengan kebijakan yang berdiri di atas kebutuhan masyarakat lokal, kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong perkembangan politik yang lebih menarik di tingkat lokal.
***
Kebangkitan politik lokal
Secara teoretis, kebijakan desentralisasi acap kali digambarkan sebagai suatu prasyarat bagi demokrasi lokal (Manor, 1999; Blair, 2000). Perubahan kekuasaan dan resources dari pusat ke pemerintah lokal berpotensi mempromosikan demokratisasi yang memungkinkan terbentuknya pemerintahan yang aspiratif dan bertanggung jawab.
Dengan mengedepankan pembuatan kebijakan yang berasal dari bawah, masyarakat lokal dapat berhubungan dengan penguasa dan terlibat dalam membuat kebijakan lokal, dalam melobi kepentingan mereka, dan dalam membangun jaringan yang berkenaan dengan masalah-masalah lokal.
Implementasi tiga undang-undang politik tentang pemilu, partai politik (parpol), dan susunan dan kedudukan (susduk) MPR, DPR, dan DPRD mempunyai arti penting bagi peningkatan pemberdayaan politik masyarakat. UU parpol, misalnya, secara relatif mampu memberdayakan masyarakat secara politik melalui wadah partai politik yang majemuk, bertanggung jawab, otonom, dan bebas dari pembinaan pemerintah dan birokrasi, baik di tingkat kota maupun pedesaan.
UU pemilu telah memberdayakan masyarakat melalui pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang demokratis, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sementara itu, UU Susduk secara relatif telah memberdayakan wakil rakyat untuk menentukan bentuk dan arah kebijakan publik baik di pusat maupun di daerah, dan untuk menentukan penyelenggara pemerintahan di pusat dan di daerah.
Ketiga UU tersebut memberikan jaminan saluran aspirasi politik, media partisipasi politik, dan saluran mekanisme legitimasi kewenangan pemerintah tingkat lokal. Implikasi ketiga UU politik ini pada politik lokal adalah bahwa ruang publik dan wadah untuk melakukan aktivitas politik menjadi semakin luas; aktor politik lokal makin bertambah banyak dan beragam; kompetisi politik di antara para aktor lokal cenderung makin tinggi; dan proses politik lokal cenderung berpindah dari arena eksekutif dan birokrasi ke arena publik.
Bila ketiga UU politik tersebut di atas mengatur politik secara nasional, UU No 22/1999 dan No 25/1999 secara khusus mengatur politik nasional dan politik lokal. Kedua UU ini pada dasarnya memperluas lingkup wacana publik masyarakat lokal, khususnya para aktor politik lokal, untuk memprakarsai suatu gagasan, membicarakan, memutuskan dan melaksanakan serta membiayai keputusan politik bagi kesejahteraan masyarakat lokal.
Lingkup politik lokal menurut UU No 22/1999 ini dirumuskan dalam bentuk kewenangan yang diberikan kepada kabupaten dan kota. Dalam hal ini kewenangan kabupaten dan kota dibagi menjadi dua kategori: 11 kewenangan wajib dan kewenangan pilihan di luar kewenangan pusat dan provinsi. Dengan demikian para aktor politik lokal dapat mengembangkan politik mereka secara otonom dalam bidang kewenangan dan urusan tersebut. Termasuk dalam hal ini kewenangan dan urusan desa yang merupakan otonomi asli berdasarkan hukum adat dan tradisi masyarakat adat tersebut.
UU No 22/1999 sebagai pengganti UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa akan memperkuat politik lokal karena UU ini menetapkan ruang lingkup politik lokal yang semakin luas. Kalau ketiga UU (pemilu, parpol, dan susduk) tersebut di atas menjamin pluralisme pelaku politik dan pelembagaannya di tingkat lokal, UU No 22/1999 memberikan jaminan kelembagaan, substansi dan lingkup kewenangan politik lokal.
Selain memuat tugas dan kewenangan DPRD sebagaimana diatur dalam UU Susduk, UU No 22/1999 juga menegaskan sejumlah kewenangan DPRD, yaitu menominasi, mencalonkan dan memilih bupati/wakil bupati tanpa konsultasi dengan gubernur atau mendagri; meminta pertanggungjawaban kepala daerah dan sekaligus memberikan hak untuk memberhentikannya bila 2/3 anggota Dewan tidak dapat menerima pertanggungjawaban kepala daerah.
Butir-butir penting tentang pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi sebagaimana diuraikan di atas tampaknya luput dari pengamatan, visi dan misi SBY-JK. Bahkan visi dan misi yang disampaikannya juga belum mengapresiasi penguatan politik lokal dalam konteks otonomi daerah.
Apresiasi ini penting karena peran kekuatan masyarakat lokal dan politik lokal ini akan signifikan sekali dalam era otonomi daerah, khususnya untuk politik Indonesia ke depan. Masalahnya, karena ini merupakan konsekuensi logis pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi yang membuat barometer politik Indonesia tak hanya didominasi oleh Jakarta, tapi juga oleh perkembangan politik di daerah-daerah. Konsekuensi ini merupakan esensi desentralisasi dan otonomi daerah yang didambakan daerah selama ini.
Selain merupakan salah satu penentu berhasil tidaknya otonomi daerah, hubungan pusat-daerah juga merupakan salah satu komponen utama fondasi yang menopang keberadaan desentralisasi dan otonomi daerah. Faktor penting yang memengaruhi hubungan tersebut adalah hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang acap kali mencerminkan ketegangan antara mereka yang mendukung 'pembagian kekuasaan' dan yang 'menekankan peranan politik pemerintah daerah'.
Subsidi daerah otonom yang diberikan pemerintah pusat sebagian besar digunakan untuk membayar pegawai. Adanya subsidi pusat yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ini dapat dikatakan masih mencerminkan kuatnya dominasi pusat dalam konteks hubungan keuangan yang melanggengkan ketergantungan daerah ke pusat.
Juga, keberadaan otoda (otonomi luas, otonomi terbatas, atau otonomi khusus) ditentukan oleh seberapa besar ruang lingkup wewenang yang dimiliki. Secara legal formal pengaturan tentang hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah dituangkan dalam pasal 7 (1) UU No 22/1999 dan PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Dalam kenyataannya pengelolaan hubungan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU dan PP tersebut tidak menjamin hubungan yang seimbang antara pusat-daerah. Tak jarang konflik atau benturan terjadi baik antara pusat-daerah maupun antara provinsi-kabupaten/kota dan antardaerah itu sendiri. Berkaitan dengan itu, pasal 7 (1) UU No 22/1999 acap kali dikritisi sebagai cermin keinginan pemerintah pusat untuk tetap melestarikan sentralisasi kekuasaannya.
Untuk mengatasi munculnya tarik-menarik kewenangan antara pusat-daerah, kiranya perlu dilakukan revisi terhadap pasal-pasal yang sarat dengan standar ganda pemerintah pusat dan memperbaiki kinerja desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini penting dan mendesak untuk dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintahan baru agar bisa dihasilkan kinerja otonomi yang dapat memperkuat harmoni antarkelompok masyarakat, antardaerah, dan hubungan antara pusat dan daerah.
Kurangnya perhatian pada besarnya kendala dalam melaksanakan otonomi dan desentralisasi dikhawatirkan akan berimplikasi pada kegagalan otonomi daerah yang memungkinkan bisa menyuburkan separatisme di beberapa daerah.
Revitalisasi
Usulan SBY-JK untuk menyempurnakan UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 merupakan langkah yang tepat. Apalagi kalau ini dikaitkan dengan programnya untuk menciptakan otonomi daerah yang lebih efektif, akuntabel, dan berkeadilan.
Masalahnya, program penyempurnaan ini bukanlah masalah yang mudah meskipun bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Kendala besar yang dihadapi oleh pemerintah selama ini sebenarnya berasal dari dirinya sendiri.
Kendala itu muncul ketika pemerintah harus melaksanakan perimbangan keuangan pusat-daerah, dan yang berkaitan dengan pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah pusat acap kali kurang memiliki political will untuk melaksanakan secara konsisten masalah dana perimbangan tersebut. Tak jarang dana hasil perimbangan ini tersendat penyalurannya ke daerah. Ini dirasakan sebagai masih kuatnya dominasi pusat terhadap daerah.
Dalam konteks perlunya political will dan konsistensi pemerintah tersebut, janji SBY-JK untuk menyempurnakan seluruh peraturan pusat dan daerah dan mendorong peningkatan kerja sama antarpemerintah daerah untuk revitalisasi otonomi daerah, bisa jadi menghadapi kenyataan lain. Hal ini dikarenakan sejak 29 September 2004 RUU tentang perubahan atas UU No 22/1999 telah disahkan oleh DPR. Ini membuat dilema tersendiri bagi pemerintahan SBY, yakni menerimanya atau segera melakukan revisi.
Salah satu perubahan penting hasil revisi yang disahkan oleh DPR periode 1999-2004 adalah berkenaan dengan pemilihan pimpinan daerah (pilkada) langsung. Tertutupnya kemungkinan munculnya calon independen dalam pilkada telah memberikan kesan diskriminatif dan tidak demokratis.
Beberapa isu di atas akan menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah bagi pemimpin baru SBY-JK. Untuk mengatasi hal itu, seyogianya pemerintah memberikan prioritas pembenahan otonomi daerah dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh keberadaan 'pluralitas lokal' agar masalah otonomi tidak sampai terbengkalai
Jika Globalisasi dan Desentralisasi Jadi Kata Kunci
GLOBALISASI dan desentralisasi merupakan dua isu utama yang memengaruhi tatanan sistem perdagangan, baik dalam kegiatan produksi, pemasaran, distribusi, dan lain-lain.
Era globalisasi menuntut setiap pelaku ekonomi untuk meningkatkan kemampuan bersaing, baik dalam memproduksi, memasarkan, maupun menerobos pasar yang batas-batasnya semakin tidak jelas, serta dalam suatu kerangka persaingan yang sangat kompetitif.
Demikian pula era otonomi daerah harus selaras dengan kecenderungan era globalisasi. Otonomi daerah tidak boleh paradoks dengan kecenderungan globalisasi, apabila sistem ekonomi Indonesia ingin selamat dari terpaan globalisasi ekonomi dunia.
Dalam perjalanannya, penerapan otonomi daerah belum seiring dengan semangat yang terkandung dalam UU No 22/1999. Hal ini tercermin dengan belum optimalnya kinerja pemerintah daerah karena munculnya perda-perda berupa pajak dan retribusi yang menimbulkan biaya tinggi sehingga mengurangi daya saing.
Implementasi kebijakan otonomi daerah dalam rangka menjawab tuntutan local dan desakan kecenderungan arus global, perlu dicermati mengingat kondisi masa transisi yang labil dan potensi konflik horizontal dapat menjadi kerusuhan massal dan perpecahan bangsa. Masa transisi yang labil memerlukan rekonsiliasi elit yang diikuti dengan pemulihan ekonomi dan politik sampai tingkat local. Kekhawatiran tersebut mengingat selama ini kita tidak terbiasa berbeda pendapat dan beragumen secara baik, yang sering kita alami adalah realitas perbedaan pendapatan dan arogansi kekuasaan.
Oleh karena itu, tujuan dan fokus dari kebijakan perdagangan adalah bagaimana membangun daya saing berkelanjutan dari produk-produk Indonesia di pasar internasional yang dilandasi oleh kompetensi inti yang didukung oleh seluruh potensi yang dimiliki bangsa Indonesia secara tersinergi baik sektoral maupun dengan seluruh kabupaten/kota.
Pada era perdagangan bebas, kebijakan perdagangan lebih difokuskan pada penurunan tarif bea masuk dan penghapusan nontarif. Kebijakan perdagangan ini dimulai dengan diberlakukannya AFTA pada 2002 yang dicetuskan pada 1992 serta deklarasi pimpinan APEC pada 1994. Kebijakan tersebut tertuang dalam paket-paket deregulasi yang berisikan penurunan tarif impor dan penghapusan hambatan nontarif.
Kebijakan perdagangan pada masa krisis, banyak dipengaruhi oleh kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) atau disebut letter of intent (LoI), yang membawa arah pada mekanisme pasar yang diharapkan mampu membawa perdagangan lebih efisien dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
Dengan terus membaiknya kondisi perekonomian secara makro kebijakan perdagangan difokuskan kepada Kebijakan Exit Program Pasca LoI IMF, dan kebijakan penguasaan pasar yang adil.
Kecenderungan bisnis global membawa beberapa hal baru seperti keterkaitan secara global, liberalisasi perdagangan dan blok perdagangan, transnasionalisasi informasi, perkembangan teknologi yang cepat, meningkatnya kesadaran akan nilai-nilai universal, serta munculnya isu baru di bidang perdagangan.
Adapun, kemunculan hal-hal di atas, dapat menjadi peluang sepanjang mampu menyesuaikan diri, namun bagi yang tidak siap akan sebaliknya yaitu menjadi ancaman.
Sayangnya, di saat Indonesia harus dihadapkan pada suasana persaingan yang semakin keras sebagai dampak globalisasi tersebut, ternyata peringkat daya saing Indonesia di pasar internasional terus merosot sebagaimana yang dinyatakan oleh World Economic Forum (WEF).
Permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan sektor perdagangan di Indonesia semakin rumit karena di saat daya saing merosot dan investasi sangat rendah ternyata banyak produk impor masuk secara ilegal yang membanjiri pasar dalam negeri, sehingga posisi produk dalam negeri semakin terjepit.
Tidak heran, Menperindag melakukan serangkaian tata niaga seperti gula, beras dan garam sebagai upaya untuk menghadapi serbuan produk dari asing yang berujung pada kerugian petani. Apesnya lagi, Deperindag dan aparat Bea Cukai kemudian harus kebobolan ratusan ribu ton gula ilegal yang merembes lewat jaringan organisasi yang cukup kuat.
Keadaan semakin dipersulit akibat sistem distribusi yang belum efisien yang ditandai dengan tingginya rasio biaya logistik terhadap nilai tambah, kurang mampunya para eksportir untuk menembus negara tujuan ekspor secara langsung, rendahnya kemampuan para eksportir dalam melakukan market intelligence, promosi, kerja sama (aliansi) dengan mitra internasional, serta bermunculannya standar teknis perdagangan (technical barrier to trade) dan ketentuan mengenai kesehatan, keamanan, keselamatan. Kesemua itu menambah beban serta mempersulit produk-produk Indonesia untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional.
Untuk dapat melaksanakan hal-hal tersebut di atas, maka strategi pengembangan perdagangan akan dilakukan dengan pendekatan terintegrasi dan efisien, melalui pengelolaan permintaan (demand management), serta pemanfaatan secara optimal pengelolaan sumber daya produktif (resource management).
Strategi ini akan didukung oleh pengelolaan jaringan (networking management) yang efisien dan efektif, pengembangan instrumen perdagangan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta pembangunan infrastruktur fisik maupun nonfisik yang menunjang.
Dalam rangka mengimplementasikan strategi yang dimaksud, sasaran pembangunan sektor perdagangan dalam negeri untuk jangka menengah adalah membangun sistem distribusi nasional yang efisien dan efektif dengan pendekatan supply chain (komoditi strategis), pengamanan pasar dalam negeri, pemberdayaan produksi dalam negeri, peningkatan peran kelembagaan, dan peningkatan sarana serta instrumen perdagangan.
Untuk jangka panjang yang akan dilakukan yaitu meningkatkan perdagangan jasa di dalam negeri yang bersaing di pasar internasional, serta membangun merek dagang nasional yang dapat menerobos pasar internasional.
Dalam periode 2001-2004 komoditi utama ekspor nonmigas adalah elektronika, testik dan TPT, minyak nabati, kayu olahan, pulp dan kertas, karet olahan dan pengolahan ikan.
Nilai ekspor komoditi tersebut pada 2003 elektronika S$9,3 miliar, tekstil dan produk tekstil (TPT) US$7,3 miliar, minyak nabati US$3,2 miliar, pulp dan kertas US$2,8 miliar, pengolahan karet US$2 miliar, pengolahan ikan US$1,5 miliar, produk kimia dasar US$2,6 miliar, kulit dan alas kaki US$1,4 miliar serta besi baja dan mesin otomotif US$1,5 miliar.
Pertumbuhan tertinggi selama periode tersebut adalah komoditi minyak nabati/hewani 57,2%, karet olahan 28,4%, besi baja dan mesin otomotif 11,1%, produk kimia dasar 10,7% serta kertas dan barang-barang dari kertas 4,4%.
Berbasis lokal
Sektor Industri di tangan Deperindag cenderung mengutamakan industri berbasis lokal seperti perkapalan, otomotif, serta agrobisnis.
Untuk mendukung produk industri berbasis agro, pokok-pokok rencana aksi jangka menengah yang akan dilakukan adalah memfasilitasi dunia usaha untuk melakukan promosi ekspor, mendapatkan pendanaan melalui skema resi gudang dengan agunan komoditas, memberikan kepastian kualitas, kuantitas dan harga dengan menggunakan sarana pasar lelang komoditas agro.
Sedangkan untuk industri alat angkut, pokok-pokok rencana aksi yang akan dilakukan yaitu mengembangkan bursa komponen buatan dalam negeri dan kerja sama dengan luar negeri dalam penetrasi pasar.
Untuk industri telematika pokok-pokok rencana aksi yang akan dilakukan adalah memfasilitasi pembangunan industri telematika di sentra-sentra produksi; membantu jaringan distribusi telematika di pasar lokal; dan menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Transaksi Elektronik.
Pokok-pokok rencana aksi jangka menengah yang akan dilakukan untuk mendukung pemasaran produk industri manufaktur adalah penerapan SNI wajib; kesesuaian dengan parameter pengawasan (label dan standar); promosi ekspor melalui pameran di dalam dan di luar negeri.
Sedangkan pokok rencana aksi untuk mendukung pemasaran produk industri komponen dan barang modal yaitu mengembangkan pasar ekspor; meningkatkan penggunaan produk buatan lokal sesuai Keppres 80/2003; peningkatan promosi penggunaan produksi dalam negeri; serta promosi ekspor melalui pameran luar negeri, dan dalam negeri.
Pokok-pokok rencana aksi yang akan dilakukan dalam jangka menengah untuk mendukung pemasaran produk industri kecil menengah adalah memberikan informasi dan fasilitasi promosi/pameran luar negeri; pendirian outlet-outlet dalam rangka promosi dan peningkatan pemasaran UKM; fasilitasi kerja sama bilateral dalam rangka peningkatan pemasaran ke negara tujuan ekspor; pengembangan pasar spesifik; serta memfasilitasi informasi dan promosi/pameran di dalam negeri.
Selain itu, untuk mendukung pemasaran produk kelautan prioritas, maka pokok-pokok rencana aksi yang akan dilakukan dalam jangka menengah adalah menyediakan fasilitasi sarana distribusi, cold storage, cool box dan pabrik es mini, pengawasan standar impor; dan promosi produksi olahan.
Untuk mencapai target peningkatan perdagangan dalam negeri, pokok-pokok rencana jangka menengah adalah membangun sistem distribusi yang efisien dan efektif; menyempurnakan perangkat peraturan dan mendorong pelaku usaha/asosiasi untuk membentuk lembaga sertifikasi dan akreditasi tenaga jasa profesi; membangun proyek percontohan sistem distribusi yang efisien dan efektif dengan pendekatan supply chain.
Di samping itu diperlukan pembentukan kelembagaan perlindungan konsumen; menyusun sistem pengawasan barang beredar dan jasa; melakukan kampanye, promosi, dan sosialisasi penggunaan produksi dalam negeri.
Upaya lainnya, membangun sarana perdagangan yang dapat mempromosikan hasil produksi wilayah perbatasan; membangun basis-basis produksi sesuai dengan potensi daerah dan kebutuhan negara tetangga; penataan kembali peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan UU-Metrologi Legal; membentuk kelembagaan pengelola sentra dana berjangka dan penasihat; serta membangun pasar lelang regional.